Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pengendalian Penduduk (DP3AP2) Daerah Istimewa Yogyakarta menggelar Bimbingan Teknis (Bimtek) Implementasi Sekolah Ramah Anak (SRA) di Ruang Rapat Balai Pendidikan Menengah Kabupaten Gunungkidul, Kamis (18/9/2025). Kegiatan berlangsung pukul 09.30–13.00 WIB dengan dihadiri 40 peserta dari tenaga pendidik SMA/SMK se-Kabupaten Gunungkidul.
Dalam kesempatan tersebut, hadir langsung dari DP3AP2 DIY, Ibu Zuli Murpuji Astuti, S.S, M.Si, yang sekaligus membuka acara dan memberikan arahan. Ia menekankan pentingnya pendampingan implementasi SRA di tingkat SMA/SMK, termasuk deteksi dini, monitoring, serta evaluasi untuk memberikan gambaran nyata kondisi di sekolah.
“Kami mengharapkan adanya monitoring dan evaluasi di sekolah untuk memberikan gambaran awal implementasi Sekolah Ramah Anak. Selain itu, kami juga menyiapkan kebijakan sekolah berupa Child Protection Policy (CPP),” ujar Zuli.
Materi pertama membahas tentang kewajiban pemenuhan hak anak yang sudah menjadi amanat undang-undang. Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) melalui Perpres Nomor 36 Tahun 1990. Dalam pemaparannya dijelaskan bahwa hak guru berhubungan erat dengan kewajiban anak, di antaranya menghormati orangtua, wali, dan guru.
Implementasi SRA dapat dilakukan pada lembaga pendidikan formal, informal, maupun non-formal. Ciri utama SRA adalah adanya mekanisme pengaduan, screening awal, serta indikator yang selaras dengan kebijakan Kemendikbud. Selain itu, sekolah juga dituntut untuk memperkuat tata tertib agar tidak menyalahi aturan namun tetap melindungi hak anak maupun guru.
Dalam sesi tanya jawab, sejumlah guru menyampaikan keresahan terkait pemberian sanksi terhadap siswa yang melanggar tata tertib. Pihak DP3AP2 DIY menjelaskan bahwa sekolah berhak melakukan tindakan sesuai tingkatan pelanggaran (ringan, sedang, berat), dengan melibatkan orang tua, guru BK, serta pemeriksaan lebih lanjut bila diperlukan.
Paparan berikutnya disampaikan oleh Agustin Dwi Widowati, M.Psi yang menyoroti pentingnya resiliensi anak. Menurutnya, resiliensi bukan bawaan lahir, tetapi dapat dikembangkan melalui pendampingan yang tepat dari guru maupun keluarga.
“Ketika anak mampu mengenali, mengelola, dan mengekspresikan emosi secara sehat, maka ia dapat menenangkan diri serta mampu berpikir fleksibel dalam menyelesaikan masalah. Guru dan orangtua berperan sebagai penggerak resiliensi, bukan sebagai pengambil keputusan bagi anak,” jelas Agustin.
Ia menambahkan bahwa dukungan keluarga, lingkungan yang kondusif, serta pemberian motivasi yang tepat akan membantu anak bangkit menghadapi tantangan hidup. Anak yang terbiasa dimudahkan dalam segala hal justru berpotensi tumbuh dengan karakter yang lemah.
Melalui Bimtek ini, para pendidik diharapkan semakin memahami konsep Sekolah Ramah Anak serta mampu menciptakan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan mendukung tumbuh kembang anak. Selain itu, adanya penguatan kebijakan perlindungan anak di sekolah juga menjadi langkah penting dalam mencegah berbagai bentuk kekerasan serta memastikan terpenuhinya hak-hak anak di satuan pendidikan.